MITOS | Makassar — Sang surya mulai berpamitan, menorehkan warna jingga dan ungu di langit Makassar. Di balik rimbunnya pohon rindang di Kelurahan Parang Tambung, Kecamatan Tamalate, sebuah motor Honda Beat tua melaju pelan.
Seorang pria dengan kacamata tebal yang selalu menempel di hidungnya, menyeimbangkan sepuluh paket buku tulis di jok belakang yang berasal dari relawan Rumah Zakat Sulawesi Selatan, pembawa asa di senja hari.
Sepuluh paket buku itu, seolah-olah sepuluh nyala lilin kecil, yang siap menerangi jalan anak-anak Parang Tambung menuju mimpi-mimpi mereka. Anak-anak yang hidup di antara gang-gang sempit, di antara hiruk pikuk kota yang tak pernah tidur, namun seringkali terlupakan.
Bukan sekadar pengantar buku. Ia adalah seorang pendengar yang baik, seorang sahabat yang mengerti pergumulan anak-anak di sana. Ia tahu, setiap buku yang ia serahkan berisi harapan, semangat, dan cita-cita yang berjuang untuk tumbuh.
Di rumah warga, ia bertemu dengan Khairul Setiawan, seorang bocah dengan mata yang berbinar. Khairul menerima buku-buku itu dengan tangan gemetar, suaranya bergetar saat mengucapkan terima kasih. “Alhamdulillah, Pak. Terima kasih banyak. Saya akan rajin belajar,” katanya. Senyum lebar terkembang di wajahnya, seolah beban di pundaknya sedikit berkurang.
Setiap anak memiliki cerita dan mimpi yang berbeda. Ada yang ingin menjadi guru, ada yang ingin menjadi polisi, ada yang ingin menjadi seniman. Namun, mereka semua mempunyai satu kesamaan: keinginan yang kuat untuk belajar, untuk meraih mimpi di tengah keterbatasan.
Pembawa sepuluh paket buku tulis, bukan hanya seorang relawan. Ia adalah seorang guru, seorang motivator, dan seorang teman. Ia tahu, setiap buku yang ia berikan adalah sebuah investasi untuk masa depan. Ia melihat masa depan Indonesia tercermin dalam mata anak-anak itu.
Salmiah Made, PIC Program Pendidikan Rumah Zakat Sulsel, menemani dalam penyaluran bantuan tersebut. Ia menyaksikan senyum dan harapan yang terpancar dari wajah anak-anak itu. “Meski sederhana,” katanya, “bantuan ini sangat berarti bagi mereka. Kita ingin memastikan semangat belajar anak-anak terus mengalir.”
Di balik senja yang semakin gelap, sepuluh paket buku itu menjadi sepuluh nyala harapan. Sepuluh mimpi yang mulai bersemi di Kelurahan Parang Tambung.
Dengan motor Honda Beat-nya yang sederhana, telah mengantarkan sepuluh asa, menebar cahaya di tengah gelapnya malam. Dan di sana, di tengah kesunyian senja, cerita tentang perjuangan dan mimpi itu akan terus dituliskan, halaman demi halaman, kata demi kata.
Discussion about this post